December 24, 2025

seputardigital

update terbaru informasi teknologi seluruh dunia

Mahfud MD Jelaskan Perbedaan Aturan TNI dan Polri Aktif dalam Jabatan Sipil

seputardigital.web.id Wacana mengenai penempatan aparat keamanan yang masih aktif dalam jabatan sipil kembali menjadi perhatian publik. Diskursus ini mencuat seiring terbitnya peraturan internal kepolisian yang mengatur penugasan anggota Polri aktif di luar struktur organisasi kepolisian. Isu tersebut memantik perdebatan karena menyentuh prinsip-prinsip dasar tata kelola negara, pembagian kewenangan, serta supremasi hukum.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Mahfud MD, memberikan pandangannya secara terbuka. Dalam penjelasan yang ia sampaikan melalui kanal pribadi, Mahfud menegaskan bahwa persoalan ini perlu dilihat secara jernih dari sudut pandang hukum, bukan semata-mata dari kebutuhan praktis birokrasi.

Sorotan terhadap Peraturan Kepolisian

Mahfud menyoroti peraturan kepolisian yang mengatur penugasan anggota Polri aktif di luar struktur organisasi. Menurutnya, peraturan tersebut menimbulkan persoalan hukum karena dinilai tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan tafsir tegas mengenai posisi aparat penegak hukum dalam jabatan sipil.

Ia menilai bahwa peraturan internal institusi tidak boleh bertentangan dengan putusan MK. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga seluruh peraturan di bawahnya harus menyesuaikan.

Putusan MK sebagai Rujukan Utama

Mahfud menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan batasan jelas terkait penempatan aparat aktif di jabatan sipil. Putusan tersebut menegaskan pentingnya menjaga prinsip profesionalisme dan netralitas aparatur negara.

Menurut Mahfud, putusan MK harus menjadi rujukan utama dalam menilai keabsahan sebuah kebijakan. Jika ada peraturan yang bertentangan, maka secara hukum peraturan tersebut berpotensi cacat dan dapat dipersoalkan.

Perbandingan Dasar Hukum TNI dan Polri

Dalam penjelasannya, Mahfud juga menguraikan perbedaan mendasar antara TNI dan Polri dalam konteks penempatan jabatan sipil. Perbedaan ini bukan soal preferensi, melainkan soal dasar hukum yang secara eksplisit diatur dalam undang-undang.

Undang-Undang TNI secara tegas mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki sejumlah jabatan sipil tertentu. Ketentuan tersebut dirumuskan secara jelas dan terbatas, sehingga memberikan kepastian hukum mengenai posisi prajurit aktif dalam struktur sipil.

Sebaliknya, Undang-Undang Polri belum mengatur secara eksplisit daftar atau mekanisme penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil. Kekosongan norma inilah yang menurut Mahfud tidak bisa diisi hanya dengan peraturan internal kepolisian.

Keterkaitan dengan Undang-Undang ASN

Mahfud juga mengaitkan persoalan ini dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Dalam UU ASN disebutkan bahwa jabatan sipil dapat diisi oleh anggota TNI atau Polri sesuai dengan ketentuan undang-undang masing-masing.

Frasa “sesuai dengan ketentuan undang-undang” menjadi kunci penting. Artinya, penempatan aparat aktif tidak bisa dilakukan secara otomatis atau sepihak, melainkan harus memiliki dasar hukum yang jelas dalam undang-undang sektoral.

Karena UU Polri belum mengatur secara rinci penempatan tersebut, Mahfud berpendapat bahwa anggota Polri aktif seharusnya mundur dari jabatan kepolisian atau pensiun jika ingin menduduki jabatan sipil.

Batas Kewenangan Kapolri

Dalam konteks ini, Mahfud menilai bahwa keputusan Kapolri tidak dapat dijadikan dasar hukum utama untuk menempatkan polisi aktif di jabatan sipil. Menurutnya, kewenangan Kapolri bersifat administratif dan internal, sehingga tidak bisa melampaui ketentuan undang-undang.

Ia mengingatkan bahwa dalam negara hukum, hierarki peraturan harus dijaga. Peraturan internal tidak boleh mengubah atau menambah norma yang seharusnya diatur dalam undang-undang.

Implikasi terhadap Prinsip Negara Hukum

Isu ini tidak hanya berdampak pada aspek kepegawaian, tetapi juga menyentuh prinsip negara hukum dan demokrasi. Pemisahan yang tegas antara aparat keamanan dan jabatan sipil dianggap penting untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga netralitas birokrasi.

Mahfud menilai bahwa kejelasan aturan justru akan melindungi institusi itu sendiri. Dengan dasar hukum yang kuat, institusi keamanan tidak akan terseret dalam polemik yang berpotensi merusak kepercayaan publik.

Perlunya Kepastian dan Harmonisasi Regulasi

Mahfud mendorong adanya harmonisasi regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih aturan. Jika memang dibutuhkan penugasan aparat Polri aktif di jabatan sipil, maka jalur yang tepat adalah melalui perubahan undang-undang, bukan sekadar peraturan internal.

Langkah ini dinilai lebih konstitusional dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Selain itu, pembahasan di tingkat undang-undang memungkinkan adanya pengawasan publik dan partisipasi politik yang lebih luas.

Respons Publik dan Diskursus Akademik

Pandangan Mahfud memicu diskusi luas di kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum. Banyak yang menilai penjelasan tersebut membantu memperjelas persoalan yang selama ini dianggap abu-abu.

Diskursus ini menunjukkan pentingnya peran intelektual publik dalam menjaga kualitas demokrasi dan supremasi hukum. Dengan penjelasan yang berbasis konstitusi, perdebatan dapat diarahkan pada solusi, bukan sekadar polemik.

Penutup

Penjelasan Mahfud MD mengenai perbedaan dasar hukum penempatan TNI dan Polri aktif dalam jabatan sipil menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam tata kelola negara. Menurutnya, peraturan internal tidak dapat menggantikan peran undang-undang, terlebih jika bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Isu ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan harus berpijak pada konstitusi dan hierarki peraturan perundang-undangan. Ke depan, harmonisasi regulasi dan penghormatan terhadap prinsip negara hukum menjadi kunci agar penataan jabatan sipil berjalan transparan, profesional, dan akuntabel.

Cek Juga Artikel Dari Platform ketapangnews.web.id