December 7, 2025

seputardigital

update terbaru informasi teknologi seluruh dunia

Adik Mendiang PB XIII Ungkap Banyak Kerabat Absen dalam Jumenengan PB XIV Purbaya

seputardigital.web.id Prosesi jumenengan Paku Buwono (PB) XIV Purbaya di Keraton Surakarta menjadi salah satu momen penting dalam sejarah internal keraton. Namun, di balik sakralnya acara ini, muncul fakta bahwa banyak kerabat dekat mendiang PB XIII memilih tidak hadir. Kondisi ini memunculkan beragam pertanyaan mengenai dinamika yang masih berlangsung di lingkungan keluarga besar keraton.

Dari seluruh adik mendiang PB XIII, hanya dua orang yang hadir secara langsung, yaitu KGPH Dipokusumo dan KGPH Benowo. Kehadiran keduanya menegaskan bahwa mereka mendukung penuh penobatan PB XIV Purbaya. Namun absen­nya kerabat lain justru memperlihatkan adanya ketegangan dan perbedaan pandangan yang masih menyelimuti proses pergantian tahta.


Hanya Dua Adik PB XIII yang Hadir

Dalam kesempatan tersebut, KGPH Benowo menjelaskan bahwa sebenarnya sebagian besar saudara mereka mendukung PB XIV Purbaya. Mereka tidak menolak penobatan tersebut secara prinsip. Namun untuk hadir secara langsung dalam prosesi jumenengan, banyak di antara mereka tidak berani mengambil langkah tersebut.

Menurut Benowo, sebagian kerabat masih merasa terikat oleh situasi keluarga yang rumit. Mereka takut keputusan hadir dapat menimbulkan ketegangan baru di antara saudara lainnya. “(Yang ikut) saya sama Mas Dipo. Yang lainnya ogah-ogahan tapi mendukung, hanya takut sama saudara lain,” ungkapnya.

Pernyataannya menggambarkan bahwa ketegangan internal dalam tubuh keluarga keraton masih jauh dari selesai.


Dinamika Internal yang Belum Sepenuhnya Mereda

Keraton Surakarta bukan sekadar institusi budaya, tetapi juga pusat simbol politik dan historis yang memiliki struktur adat sangat kuat. Ketika terjadi pergantian tahta, dinamika internal keluarga besar keraton sering kali menjadi perhatian publik. Dalam kasus PB XIV Purbaya, perbedaan pandangan antarkerabat tampaknya masih menjadi isu.

Ketidakhadiran sebagian kerabat menunjukkan bahwa masih ada rasa sungkan, ketakutan, atau bahkan tekanan sosial yang membuat mereka memilih untuk tidak tampil di muka publik. Dalam budaya Jawa, hubungan antarsaudara sering kali dijaga dengan kehati-hatian, terutama jika situasi masih sensitif.

Penobatan PB XIV membawa harapan baru bagi pemulihan marwah keraton, namun kata “pemulihan” ini sendiri menandakan adanya persoalan yang belum sepenuhnya selesai.


Konteks Hubungan PB XIII dan Penerusnya

PB XIII selama ini dikenal sebagai sosok yang berupaya menjaga stabilitas keraton di tengah berbagai tantangan internal. Setelah wafatnya PB XIII, proses suksesi berjalan dengan dinamika yang cukup rumit. PB XIV Purbaya dipandang sebagai tokoh yang akan melanjutkan kepemimpinan, namun tidak semua pihak dalam keluarga merespons dengan sikap seragam.

Sebagian kerabat mungkin masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Dalam tradisi keraton, suksesi bukan hanya peristiwa formal, tetapi juga proses batin dan ikatan emosional keluarga. Hal ini membuat beberapa pihak tidak ingin tergesa-gesa tampil dalam perayaan jumenengan.

Kehadiran hanya dua adik mendiang PB XIII dianggap sebagai simbol bahwa dukungan internal masih ada, meski belum sepenuhnya solid di permukaan.


Makna Jumenengan dalam Tradisi Keraton

Jumenengan adalah upacara sakral penobatan seorang raja atau pemimpin tertinggi keraton. Prosesi ini bukan hanya ritual simbolik, tetapi juga momentum yang menguatkan legitimasi kepemimpinan baru.

Dalam konteks PB XIV Purbaya, jumenengan ini menjadi tanda resmi dimulainya masa pemerintahannya sebagai penerus tahta. Namun ketidakhadiran sejumlah kerabat memberikan nuansa tersendiri—menunjukkan bahwa keraton sedang berada dalam masa transisi yang membutuhkan penataan dan penyatuan kembali.

Jumenengan sejatinya merupakan ruang kebersamaan keluarga raja. Ketidakhadiran sebagian kerabat pada saat sakral ini mencerminkan adanya pekerjaan rumah besar dalam penyatuan pandangan internal.


Motif Ketidakhadiran: Antara Rasa Takut dan Etika Keluarga

Penjelasan KGPH Benowo menyoroti faktor “rasa takut” yang membuat beberapa adik PB XIII memilih absen. Takut yang dimaksud bukan berarti ketakutan fisik, tetapi lebih kepada kekhawatiran melanggar etika keluarga atau menimbulkan ketegangan baru.

Dalam budaya Jawa, harmoni sering kali dianggap lebih penting daripada pernyataan sikap terbuka. Banyak situasi dalam keluarga besar keraton yang membutuhkan kompromi halus. Hadir dalam sebuah acara besar seperti jumenengan dapat dianggap sebagai bentuk keberpihakan, dan beberapa anggota keluarga belum siap menghadapi konsekuensi sosialnya.

Oleh karena itu, meski mendukung PB XIV secara pribadi, mereka memilih menahan diri.


Harapan agar Keraton Kembali Solid

Di tengah dinamika ini, sebagian besar masyarakat adat berharap bahwa PB XIV Purbaya dapat menjadi figur pemersatu. Keraton Surakarta sebagai simbol budaya Jawa membutuhkan stabilitas, bukan hanya dari sisi ritus adat, tetapi juga dari harmoni keluarga internal.

Kehadiran KGPH Dipokusumo dan KGPH Benowo menjadi tanda positif bahwa masih ada kerabat yang berniat memperkuat posisi PB XIV. Namun dukungan penuh dari seluruh keluarga besar keraton tetap diperlukan agar proses transisi berjalan mulus.

PB XIV Purbaya dipandang memiliki peran strategis dalam mengembalikan wibawa keraton, sekaligus merawat tradisi budaya yang telah diwariskan turun-temurun.


Penutup: Jumenengan dengan Makna Ganda

Upacara jumenengan PB XIV Purbaya menjadi peristiwa penting dalam sejarah Keraton Surakarta. Namun di balik kesakralannya, ketidakhadiran banyak kerabat membuka realitas bahwa keluarga besar keraton masih berada dalam situasi yang kompleks.

Meski begitu, kehadiran dua adik PB XIII menunjukkan adanya dukungan nyata bagi PB XIV. Harapan besar tertuju pada masa pemerintahannya untuk menyatukan kembali keluarga, memulihkan hubungan internal, dan membawa keraton menuju babak baru yang lebih harmonis.

Cek Juga Artikel Dari Platform kalbarnews.web.id