seputardigital.web.id Peraturan Kepolisian yang mengatur penempatan anggota polisi aktif di sejumlah kementerian dan lembaga negara kembali menjadi perbincangan publik. Aturan tersebut dipandang tidak sekadar bersifat administratif, tetapi menyentuh persoalan prinsipil dalam sistem ketatanegaraan dan reformasi sektor keamanan.
Sorotan tajam datang dari Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. Sebagai pakar hukum tata negara, Jimly menilai terdapat kesalahan mendasar dalam peraturan tersebut, khususnya karena tidak mencantumkan rujukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan.
Masalah Pokok: Putusan MK yang Tidak Dirujuk
Menurut Jimly, salah satu kekeliruan utama dalam Peraturan Polri tersebut adalah absennya pengakuan eksplisit terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem hukum Indonesia, putusan MK bersifat final dan mengikat, terutama ketika menyangkut tafsir konstitusi dan batas kewenangan lembaga negara.
Ketika sebuah peraturan di tingkat internal institusi tidak merujuk atau bahkan mengabaikan putusan MK, maka secara teoritis peraturan tersebut berpotensi cacat secara yuridis. Jimly menilai bahwa kesalahan semacam ini bukan persoalan teknis, melainkan menyentuh substansi konstitusional.
Penempatan Polisi Aktif dan Prinsip Sipil Supremasi
Isu penempatan polisi aktif di kementerian dan lembaga negara bukan hal baru. Sejak reformasi, salah satu prinsip yang dijaga adalah supremasi sipil atas aparat keamanan. Reformasi Polri sendiri lahir dari semangat memisahkan peran militer dan kepolisian dari ranah politik serta birokrasi sipil.
Dalam konteks tersebut, penempatan polisi aktif di jabatan sipil selalu menuntut dasar hukum yang kuat dan kehati-hatian ekstra. Tanpa rujukan konstitusional yang jelas, kebijakan semacam ini berisiko dipersepsikan sebagai langkah mundur dari agenda reformasi.
Pandangan Jimly: Kesalahan yang Mudah Diuji
Jimly menyampaikan bahwa jika ingin mencari letak kesalahan dalam peraturan tersebut, jalur pengujian di Mahkamah Agung bisa menjadi opsi yang jelas. Menurutnya, kesalahan normatif dalam peraturan ini relatif mudah ditemukan karena bertentangan dengan prinsip dan putusan hukum yang lebih tinggi.
Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan. Setiap peraturan di bawah undang-undang wajib tunduk pada konstitusi dan putusan lembaga yudisial yang berwenang menafsirkannya.
Implikasi Hukum jika Diuji di Pengadilan
Apabila peraturan tersebut benar-benar diuji secara hukum, maka pengadilan akan menilai kesesuaiannya dengan undang-undang dan prinsip konstitusi. Jika terbukti bertentangan, peraturan tersebut berpotensi dibatalkan sebagian atau seluruhnya.
Implikasi ini tidak hanya berdampak pada keberlakuan peraturan, tetapi juga pada legitimasi kebijakan penempatan aparat kepolisian di jabatan sipil. Oleh karena itu, kritik Jimly dipandang sebagai peringatan dini agar pembuat kebijakan melakukan evaluasi sebelum persoalan melebar.
Dimensi Reformasi Polri yang Lebih Luas
Kritik terhadap Perpol ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks reformasi Polri secara keseluruhan. Reformasi bukan hanya soal perubahan struktur, tetapi juga soal budaya hukum dan kepatuhan terhadap prinsip demokrasi.
Penempatan polisi aktif di luar fungsi kepolisian inti sering kali memicu perdebatan tentang netralitas, akuntabilitas, dan profesionalisme. Tanpa dasar hukum yang kokoh, kebijakan tersebut dapat mengaburkan batas peran antara aparat penegak hukum dan birokrasi sipil.
Kebutuhan Sinkronisasi Regulasi
Kasus ini menyoroti pentingnya sinkronisasi antara regulasi internal institusi dengan putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Regulasi yang disusun tanpa memperhatikan konteks hukum yang lebih luas berpotensi menimbulkan konflik normatif.
Jimly menekankan bahwa penyusunan peraturan tidak boleh hanya berangkat dari kebutuhan praktis institusi. Aspek konstitusional dan yurisprudensi harus menjadi rujukan utama agar regulasi memiliki legitimasi dan daya tahan hukum.
Respons Publik dan Pengamat Hukum
Sejumlah pengamat hukum tata negara menilai kritik Jimly sebagai masukan penting yang perlu ditanggapi secara serius. Mereka menilai bahwa ketidakjelasan dasar hukum dalam penempatan aparat keamanan di jabatan sipil dapat membuka ruang tafsir yang berbahaya bagi demokrasi.
Di sisi lain, ada pula pandangan yang menilai kebijakan tersebut sebagai upaya pemanfaatan sumber daya manusia Polri. Namun, pandangan ini tetap menuntut pembenaran hukum yang kuat agar tidak menabrak prinsip konstitusional.
Pentingnya Kehati-hatian dalam Regulasi Keamanan
Regulasi yang menyangkut aparat keamanan selalu memiliki sensitivitas tinggi. Kesalahan kecil dalam perumusan norma dapat berdampak besar terhadap persepsi publik dan stabilitas sistem hukum.
Karena itu, Jimly menilai bahwa koreksi terhadap peraturan semacam ini seharusnya dilakukan sejak awal. Evaluasi internal dinilai lebih baik daripada menunggu pembatalan melalui jalur pengadilan.
Penutup: Teguran Konstitusional yang Perlu Diperhatikan
Sorotan Jimly Asshiddiqie terhadap Perpol tentang jabatan polisi aktif di kementerian menjadi pengingat penting tentang supremasi konstitusi dalam sistem hukum Indonesia. Setiap kebijakan, sekecil apa pun, harus berpijak pada prinsip hukum yang sah dan putusan lembaga peradilan.
Kritik ini bukan sekadar persoalan teknis regulasi, melainkan teguran konstitusional agar agenda reformasi Polri tetap berjalan di jalur yang benar. Dengan memperbaiki dasar hukum dan merujuk putusan yang relevan, kebijakan publik dapat terhindar dari polemik dan memiliki legitimasi yang lebih kuat.

Cek Juga Artikel Dari Platform footballinfo.org

More Stories
5 Tips Aman Bertransaksi Digital Saat Libur Nataru
Ekonomi Digital Menggeliat, Penerimaan Pajak Terus Meningkat
Peran Linguistik Terapan Menguat di ICMAL 2025 Era Digital