December 7, 2025

seputardigital

update terbaru informasi teknologi seluruh dunia

Rute Iring-Iringan Jenazah PB XIII dari Kraton Surakarta ke Makam Raja Imogiri

seputardigital.web.id Suasana duka mendalam terasa di Kraton Surakarta Hadiningrat. Sejak pagi hari, halaman kraton dipenuhi oleh abdi dalem yang bersiap untuk prosesi adat pemakaman Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIII (PB XIII). Mereka bekerja dengan khidmat, mengenakan pakaian adat lengkap berwarna hitam sebagai simbol duka dan penghormatan terakhir.

Warga dari berbagai daerah juga berdatangan ke sekitar kraton untuk memberikan penghormatan. Ratusan pelayat berdiri di sepanjang jalan, menundukkan kepala ketika gamelan berbunyi lembut, menandai dimulainya prosesi sakral. Kraton Surakarta, yang selama ini menjadi pusat kebudayaan Jawa, kembali menjadi saksi perjalanan seorang raja menuju keabadian.

Makna Filosofis di Balik Prosesi Adat

Upacara pemakaman raja di Kraton Surakarta bukan sekadar ritual, tetapi juga bagian penting dari filosofi kehidupan Jawa. Setiap tahapan memiliki simbol dan doa yang mendalam, menggambarkan perjalanan jiwa dari dunia fana menuju alam baka.

Para abdi dalem menyiapkan perlengkapan ritual dengan penuh ketelitian, mulai dari kain kafan, bunga tujuh rupa, hingga dupa wangi yang terus menyala. Prosesi ini disebut sebagai bentuk penghormatan tertinggi, mencerminkan hubungan antara manusia, leluhur, dan Sang Pencipta dalam tatanan spiritual Jawa.

Perjalanan Iring-Iringan Jenazah PB XIII

Rute iring-iringan jenazah PB XIII disusun dengan makna sejarah yang kuat. Jenazah dibawa dari Ndalem Karaton, melewati Bangsal Magangan, Alun-Alun Selatan, lalu menuju Gading Barat. Setelah itu, rombongan menyusuri Jalan Slamet Riyadi, jalur utama Kota Surakarta yang melambangkan keterbukaan kraton terhadap masyarakat.

Setiap titik yang dilalui memiliki arti tersendiri. Ndalem Karaton adalah simbol asal kehidupan, Magangan melambangkan perjalanan batin, dan Alun-Alun Selatan menjadi tempat pelepasan energi duniawi. Seluruh rangkaian ini menggambarkan perjalanan spiritual sang raja dari dunia manusia menuju alam arwah.

Transit di Loji Gandrung Sebelum ke Imogiri

Setelah melewati Jalan Slamet Riyadi, iring-iringan akan berhenti di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Surakarta. Di tempat ini, jenazah akan disemayamkan sementara sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah daerah kepada Kraton Surakarta.

Loji Gandrung juga memiliki makna simbolik, yaitu persilangan antara kekuasaan tradisional dan pemerintahan modern. Dari tempat ini, jenazah kemudian dipindahkan dari kendaraan khusus kraton Grada Paralaya ke ambulans, sebelum diberangkatkan menuju Kompleks Pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta.

Perjalanan Menuju Makam Raja-Raja Mataram

Perjalanan dari Surakarta ke Imogiri menempuh jarak sekitar 60 kilometer. Iring-iringan bergerak perlahan melewati jalan utama sambil dikawal oleh aparat keamanan dan rombongan kereta pusaka kraton. Sepanjang jalan, masyarakat berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan terakhir.

Makam Imogiri dikenal sebagai tempat peristirahatan para raja Mataram sejak abad ke-17. Tempat ini dianggap suci karena berada di puncak bukit dan dipercaya lebih dekat dengan Sang Pencipta. Tradisi pemakaman di sana selalu dijalankan dengan tata cara khusus, menjaga warisan spiritual Kerajaan Mataram Islam.

Abdi Dalem Jalankan Tugas dengan Penuh Khidmat

Ratusan abdi dalem turut mengiringi prosesi ini. Mereka berjalan kaki dalam formasi teratur sambil membawa payung kebesaran, tombak pusaka, dan bendera kerajaan. Setiap langkah dilakukan perlahan dan penuh penghayatan, mencerminkan rasa hormat dan kesetiaan kepada sang raja.

Bagi para abdi dalem, ini bukan sekadar tugas, melainkan kehormatan. Mereka percaya bahwa mengiringi perjalanan terakhir raja merupakan bentuk bakti tertinggi kepada pemimpin yang telah menjaga keseimbangan budaya dan spiritual kerajaan.

Masyarakat Diberi Kesempatan Melayat

Sebelum prosesi pemberangkatan, Kraton Surakarta membuka kesempatan bagi masyarakat umum untuk melayat. Ribuan warga datang silih berganti ke Bangsal Parasiya, tempat jenazah PB XIII disemayamkan. Mereka membawa bunga dan dupa, lalu berdoa di depan peti jenazah.

Para abdi dalem menjaga ketertiban agar semua pelayat bisa mendapat kesempatan yang sama. Banyak warga meneteskan air mata mengenang sosok PB XIII yang dikenal ramah dan bijaksana. Bagi masyarakat Surakarta, kepergian beliau bukan sekadar kehilangan pemimpin, tetapi juga penjaga warisan budaya Jawa.

Simbol Harmoni antara Tradisi dan Pemerintahan Modern

Prosesi pemakaman PB XIII memperlihatkan perpaduan harmonis antara tradisi adat dan sistem pemerintahan modern. Kehadiran pejabat daerah, aparat keamanan, dan masyarakat luas menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya masih dihormati di tengah era modern.

Pemerintah daerah Surakarta juga menyatakan dukungan untuk melestarikan ritual adat seperti ini. Menurut mereka, penghormatan kepada tradisi leluhur adalah bagian penting dari identitas bangsa. Prosesi ini menjadi contoh bagaimana nilai budaya bisa berdampingan dengan kemajuan zaman.

Makna Spiritual bagi Masyarakat Jawa

Bagi masyarakat Jawa, pemakaman seorang raja memiliki makna spiritual yang mendalam. Rangkaian upacara menggambarkan keseimbangan antara alam fisik dan spiritual. Setiap doa, tabuhan gamelan, dan langkah abdi dalem memiliki makna simbolik tentang perjalanan jiwa menuju kedamaian abadi.

PB XIII dianggap telah menuntaskan tugasnya sebagai pemimpin duniawi dan kini kembali ke pangkuan para leluhur. Proses ini menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa kehidupan bersifat sementara, sementara kebajikan dan ketulusan akan selalu abadi.

Penutup: Warisan Abadi dari PB XIII

Kepergian Pakoe Boewono XIII meninggalkan duka mendalam sekaligus kebanggaan bagi rakyat Surakarta. Ia dikenang sebagai raja yang berkomitmen menjaga nilai-nilai budaya dan mempererat hubungan antara kraton dan masyarakat.

Iring-iringan menuju Imogiri bukan sekadar prosesi pemakaman, melainkan simbol perjalanan spiritual yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tradisi ini menjadi bukti bahwa budaya Jawa masih hidup, bernafas, dan terus dijaga oleh generasi penerus.

Cek Juga Artikel Dari Platform infowarkop.web.id